Sabtu, 14 September 2013

Si Manis Yang Malang



            Tersebutlah, di sebuah negeri antah berantah, hidup sebuah keluarga sederhana, sepasang suami istri yang memiliki seorang anak perempuan yang masih berusia 5 tahun. Keluarga ini tinggal di sebuah rumah sederhana tapi asri. Ada jajaran kebun teh yang segar dipandang mata, tak jauh dari rumah mereka. Disanalah sang ayah mencari nafkah, sementara sang bunda bertanggung jawab penuh atas rumah tangga mereka. Meskipun hidup berkecukupan, keluarga ini selalu bersyukur atas kehidupan bahagia yang diberikan Tuhan pada mereka.
            Pada suatu hari, rumah mereka kedatangan tamu, seekor kucing putih yang lucu dan manis. Kucing tersebut mengeong-ngeong di halaman rumah, seperti ingin meminta makan. Putri, anak perempuan mereka, menatap iba kucing tersebut dari dalam rumah. Ia ingin sekali memberinya makan, kebetulan di dapur masih ada sisa tulang ikan semalam. Putri mengambil tulang ikan tersebut dan memberikannya kepada si kucing. Diam-diam dan perlahan, ia mendekati kucing tersebut, takut kalau tiba-tiba si kucing mencakar ataupun menggigitnya. Tapi ternyata tidak, si kucing malah patuh memakan tulang ikan sisa tersebut. Putri pun merasa senang, hari ini ia telah menyelamatkan nyawa seekor kucing.
            Sementara si kucing asik menggigiti tulang ikan, Putri memandanginya dengan tatapan kasih sayang. Tiba-tiba terlintas di pikiran Putri untuk memelihara kucing tersebut di rumahnya, pasti akan seru sekali jika kucing ini tinggal di rumah, Putri jadi punya teman main, begitu pikir Putri. Lalu Putri pun berlari ke dalam rumah, menemui bundanya yang sedang merajut di ruang tengah.
            “Bundaaa, Putri boleh minta sesuatu gak?” tanya Putri.
            “Putri mau minta apa, sayang?” Bunda bertanya balik.
            “Itu loh, Bun, diluar ada kucing lucuu banget, Putri suka. Dia boleh tinggal disini gak, Bun? Biar ada teman main Putri” jawab Putri dengan manja.
            “Kalau Putri memang suka, baiklah, Bunda ijinkan, tapi Putri harus janji dulu sama Bunda, gimana?”
            “Janjinya apa, Bun?” Putri menatap Bunda dengan tatapan antusias, penasaran.
            “Kucingnya boleh tinggal di rumah kita, tapi Putri gak boleh tidur sama kucing ya, nanti Putri bisa sakit” Bunda berkata lembut tapi tegas.
            “Oke Bunda, Putri janji.” Putri meloncat kegirangan, dan langsung berlari menuju tempat si kucing tadi makan. Putri mengelus-elus kepala kucing tersebut dengan lembut, dan disambut dengan anggukan manja sang kucing.
            Tak lama kemudian, ayah Putri pulang dari kebun teh. Awalnya ayah kaget melihat ada anggota baru dalam rumahnya tapi setelah diberi penjelasan oleh Putri dan bunda, ayah akhirnya mengerti. Bahkan, ayah membantu Putri membuatkan kandang buat si kucing putih tersebut di depan rumah mereka. Bermodalkan kayu-kayu balok dan papan bekas pembangunan rumah mereka dulu, dibangunlah rumah kecil mungil untuk si kucing putih. Mereka menamakan kucing tersebut si Manis, karena kemanisan sifatnya yang patuh dan manja pada Putri, Ayah, dan juga Bunda. Singkat kata, keluarga bahagia ini bertambah bahagia atas kehadiran anggota baru mereka.
            Semenjak kedatangan si Manis, Putri jadi terlihat makin senang dan semangat. Setiap pagi ketika bangun tidur, hal yang pertama dilakukan Putri adalah menyapa si Manis, begitupun setiap kali Putri pulang sekolah, ia tak pernah absen menyapa si Manis. Putri selalu mengajak si Manis bermain kemanapun ia main, baik itu ke rumah teman, ataupun ke kebun teh, tempat ayahnya bekerja. Si Manis selalu patuh, tak pernah ia membuat Putri maupun keluarganya marah. Ia benar-benar kucing yang baik dan manis.
            Suatu hari, ayah dan bunda berencana pergi menjenguk tetangga yang sakit. Awalnya Putri diajak ikut, tapi entah kenapa hari itu Putri mendadak nakal. Ia tidak mau diajak pergi. Putri hanya sedang ingin bermain dengan si Manis.
            “Baiklah, kalau Putri memang tidak ingin pergi, ayah sama bunda saja yang pergi. Tapi Putri harus tetap di rumah ya, jangan kemana-mana. Main sama si Manis aja ya di rumah” kata Ayah. “Manis, jagain Putri baik-baik ya” Ayah mengelus-elus kepala si Manis. Ia pun mengangguk manja, seolah bilang ‘ya, saya siap’.
            Akhirnya, ayah dan bunda pun meninggalkan rumah mereka, tanpa menyadari bahwa bahaya sedang menuju ke rumah mereka.
            Sebenarnya, ayah dan bunda hanya sebentar pergi ke rumah tetangga, tidak sampai satu jam. Tapi selama satu jam itu pulalah, sesuatu sedang terjadi di rumah mereka, yang hanya dihuni oleh seorang gadis kecil dan seekor kucing manis. Sesuatu yang akan merubah kehidupan mereka nantinya, sesuatu yang menciptakan kesedihan yang mendalam bagi keluarga kecil yang selama ini hidup bahagia, yang selalu mengucap syukur, yang selalu menebarkan kasih sayang di lingkungan mereka.
            Singkat cerita, ayah dan bunda pun kembali ke rumah. Tapi ada pemandangan yang tak biasa di depan rumah mereka. Sekitar beberapa meter dari pintu rumah, si Manis sedang terduduk diam di halaman rumah, tubuhnya kacau, ada cipratan darah di beberapa titik tubuhnya. Dan yang membuat sepasang suami istri ini kaget adalah adanya sedikit sobekan baju Putri yang berada di mulut si Manis. Mata mereka langsung mencari-cari keberadaan Putri, tapi tidak ada di sekitar sana. Berbagai macam pikiran melayang-layang di kepala ayah dan bunda. Jangan-jangan, si Manis telah menggigit Putri hingga berdarah, begitu pikirnya. Bunda langsung berlari ke dalam rumah, dan benar saja, disana tepat di dekat daun pintu, Putri sedang terbaring lemah, entah dia sadar atau tidak sadar. Bunda menjerit, berusaha membangunkan Putri.
            Ayah yang melihat suasana tersebut, tak berpikir panjang lagi. Ia mengambil balok kayu besar yang ada di halaman rumah. Dengan penuh emosi, Ayah memukulkan balok kayu tersebut pada si Manis, kucing yang selama ini disayanginya, disayangi Putrinya, kucing yang selama ini diberinya makan, diberi tempat tinggal, kucing yang selama ini selalu dianggap adik oleh Putri semata wayangnya, kucing yang tega menyakiti Putri nya hingga berdarah tak berdaya, begitu pikir Ayah. Si Manis yang dipukuli hanya mengeong – menjerit kesakitan hingga jeritan itu melemah, tak ada lagi suara yang sanggup dikeluarkannya.
            Dan tepat ketika jeritan si Manis terhenti, Bunda melihat ada sesuatu di dalam rumah. Seekor ular besar yang tubuhnya dipenuhi bekas cakaran, berdarah-darah dan sudah tak bernyawa. Bunda kaget, darimana datangnya ular besar ini? Apa yang terjadi padanya? Apa yang terjadi pada anak semata wayangnya? Sebenarnya apa yang terjadi di rumah ini?
            “Bunda” Putri bersuara lemah. Bunda kaget, langsung menoleh kepada Putri dan merangkul tubuh kecilnya.
            “Putri, kamu kenapa sayang? Apa yang terjadi?” tanya Bunda setengah menangis, setengah terharu, ternyata Putri nya masih hidup. Ayah yang daritadi sibuk dengan si Manis langsung mendekat begitu mendengar suara Putrinya.
            “Putri, kamu baik-baik saja, nak?” Ayah juga bertanya cemas.
            “Iya, Yah, Putri baik-baik saja. Putri Cuma takut”
            “Takut kenapa, sayang?”
            “Tadi waktu Putri lagi main sama si Manis, tiba-tiba ada ular besar masuk ke dalam rumah. Putri takut, ular itu melilit Putri. Si Manis juga keliatan takut, bulu-bulunya berdiri semua. Lalu si Manis menggigit dan mencakar ular itu, Putri gak tau lagi apa yang terjadi. Putri takut”
            “Jadi, si Manis bukannya menggigit Putri tapi menggigit ular itu?” tanya Bunda
            “Iya, Bunda. Si Manis mana ya, Bun? Putri mau ngucapin makasih sama si Manis” Putri celingukan mencari kucing putih kesayangannya itu. “Maniiis, pushh pushh, ckckck” Putri mencoba memanggil si Manis seperti biasa, tapi sayang yang dipanggil malah tidak datang, jangankan datang, mendengar saja ia sudah tidak bisa lagi. Si Manis sudah mati.
            Malang memang, sang pahlawan yang dianggap penjahat, mati di tangan majikan sendiri. Sang pahlawan yang rela nyawanya dipertaruhkan demi orang yang disayang, tapi justru melayang dengan cara yang sia-sia. Sang pahlawan yang  jasanya baru diketahui setelah kematiannya. Si Manis yang tidak bisa lagi mengeong manis. Sungguh kasihan.
            Tapi yang lebih kasihan lagi adalah keluarga kecil ini, mereka tidak tahu betapa besar perjuangan si Manis menyelamatkan nyawa Putri. Ketika Putri berada dalam lilitan ular besar tersebut, si Manis dengan beraninya mencakar tubuh ular yang besar itu, sehingga si ular melepaskan tubuhnya dari tubuh Putri dan beralih melilit tubuh si Manis. Lilitan itu semakin lama semakin kuat, dan ketika si ular bersiap menelan tubuh si Manis, dengan kekuatan penuh si Manis berusaha mengecilkan tubuhnya dan keluar dari lilitan si ular. Beruntung si Manis berhasil lolos, dan kemudian ia mencakar kepala ular tersebut, hingga si ular tak bergerak lagi. Lalu bagaimana bisa ada sobekan baju Putri di mulut si Manis? Tentu saja, sobekan baju itu berasal dari penyelamatan si Manis ketika Putri berada dalam lilitan tubuh ular.
            Sungguh malang nasib si Manis, ia hanya bisa hidup dalam kenangan. Lebih malang lagi nasib keluarga Putri, yang memang bisa terus melanjutkan hidup tapi dihantui bayang-bayang penyesalan. Kehidupan keluarga kecil mereka yang bahagia tidak akan pernah sama lagi, tidak akan sebahagia mereka bersama si Manis.

Inspired by my father
Diceritakan kembali oleh penulis

Diceritakan kembali oleh penulis